BAB
I
PENDAHULAN
A. Latar Belakang
Setelah khalifah Abbasiyah di
Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan politik Islam mengalami
kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaannya terpecah belah menjadi beberapa
kerajaan kecil, satu sama lain saling berperang dan menjatuhkan untuk
mendapatkan kekuasaan yang lebih luas lagi. Kemajuan-kemajuan kebudayaan dan
peradaban Islam yang pernah dicapai di masa kejayaannya hancur akibat serangan
tentara Mongol. Tentara Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk dengan kejamnya
merusak dan memporakporandakan pusat-pusat kekuasaan Islam. Kemunduran umat
Islam dalam dunia politik mulai bangkit kembali mengalami kemajuan ketika
muncul dan berkembang tiga kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Utsmani yang
didirikan oleh Utsman putra Ertoghrul, Kerajaan Syafawi di Persia yang
didirikan oleh Saifuddin, dan Kerajaan Mughal di India yang didirikan oleh
Zahiruddin Babur.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah tentang Kerajaan Utsmani?
2.
Bagaimana sejarah tentang Kerajaan
Syafawi?
3.
Bagaimana sejarah tentang Kerajaan
Mughal?
C. Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui bagaimana sejarah
tentang Kerajaan Usmani
2.
Untuk mengetahui bagaimana sejarah
tentang Kerajaan Syafawi
3.
Untuk mengetahui bagaimana sejarah
tentang Kerajaan Mughal
BAB
II
PEMBAHASAN
MASA 3 KERAJAAN BESAR (UTSMANI,
SYAFAWI, DAN MUGHAL)
Sejarah
Islam sekarang telah berjalan lebih dari 14 abad lamanya. Sebagaimana halnya
sejarah setiap umat, sejarah Islam pun mengalami pasang surut. Satu di antara
beberapa sejarah peradaban Islam yang cukup menarik untuk bahan kajian ilmiah,
yaitu masa pertengahan khususnya pada abad ke-17, karena pada masa itu terdapat
tiga kerajaan besar, yaitu Kerajaan Utsmani di Turki, Kerajaan Syafawi di
Persia, dan Kerajaan Mughal di India.
A. Kerajaan Utsmani
1.
Sejarah
Berdirinya Kerajaan Utsmani
Nama
kerajaan Turki Utsmani diambil dan dibangsakan kepada nenek moyang mereka yang
pertama, Sultan Utsmani Ibnu Sauji Ibnu Ertoghrul Ibnu Sulaiman Syah Ibnu Kia
Alp, kepala Kabilah Kab di Asia Tengah (Hamka, 1987: 205)[1].
Di bawah tekanan serangan Mongol pada abad ke-13 M, mereka melarikan diri ke
daerah barat dan mencari tempat pengungsian. Di bawah pimpinan Ertoghrul,
mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Sultan Seljuk yang kebetulan
sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin
mendapat kemenangan. Atas jasa baik itu Alauddin menghadiahkan sebidang tanah
yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu, mereka terus membina wilayah
barunya dan memilih kota Syukud sebagai ibu kota.
Ertoghrul
meninggal dunia tahun 1289 M, kepemimpinannya dilanjutkan oleh putranya,
Utsman. Putra Ertoghrul inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Utsmani. Dan
mendapat gelar Padisya Alu Utsman atau Raja dari keluarga Utsman. Pada tahun
1300 M, bangsa Mongol menyerang Kerajaan Seljuk dan Sultan Alauddin terbunuh.
Utsman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang
didudukinya. Sejak itulah, Kerajaan Utsmani dinyatakan berdiri. Ia berhasil
menaklukkan kota Broessa (1317 M), kemudian pada tahun 1326 M dijadikan sebagai
ibu kota kerajaan Turki Utsmani[2].
Pada
masa pemerintahan Orkhan (1326-1359 M) Turki Utsmani dapat menaklukkan Azmir
(1327 M), Thawasyanli (1330 M), Uskandar (1338 M), Ankara (1354 M), dan
Gallipoli (1356 M). Ketika Murad I berkuasa (1359-1389 M) selain memantapkan
keamanan dalam negeri, ia melakukan perluasan daerah ke Benua Eropa. Merasa
cemas terhadap kemajuan ekspansi ini, Paus mengobarkan semangat perang. Pasukan
sekutu Eropa disiapkan untuk memukul mundur Turki Utsmani di bawah pimpinan
Sijisman, raja Hongaria. Namun Sultan Bayazid I (1389-1403 M) pengganti Murad I
dapat menghancurkan pasukan sekutu kristen tersebut[3].
Kemajuan
dan perkembangan ekspansi kerajaan Utsmani yang demikian luas dan berlangsung
dengan cepat itu diikuti pula oleh kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang
kehidupan yang lain.
a. Bidang
Kemiliteran dan Pemerintahan
Untuk
pertama kali, kekuatan militer kerajaan ini mulai diorganisasikan dengan baik
dan teratur ketika terjadi kontak senjata dengan Eropa. Pembaruan dalam tubuh
organisasi militer oleh Orkhan sangat berarti bagi pembaruan militer Turki. Anak-anak
Kristen diasramakan dan dibimbing dalam suasana
Islam untuk dijadikan prajurit. Pasukan ini disebut pasukan Jenissari
atau Inkisyariah. Pasukan inilah yang dapat mengubah Kerajaan Utsmani menjadi
mesin perang yang paling kuat. Faktor utama yang mendorong kemajuan di lapangan
kemiliteran ini ialah tabiat bangsa Turki yang bersifat militer, berdisiplin,
dan patuh terhadap peraturan.
b. Bidang
Budaya
Dalam
bidang kebudayaan Turki Utsmani banyak memunculkan tokoh penting, antara lain
muncul penyair terkenal yaitu Nafi’ (1582-1636). Nafi’ bekerja untuk Murad
Pasya dengan menghasilkan karya-karya sastra Kaside. Dalam bidang sastra prosa
Kerajaan Utsmani melahirkan dua tokoh terkemuka, yaitu Katip Celebi dan Evliya
Celebi. Yang terbesar dari semua penulis adalah Mustafa bin Abdullah, yang
dikenal dengan Katip Celebi atau Haji Halife. Ia menulis buku bergambar yaitu
Kasyf Az-Zunun fi Asmai Al-Kutub wa Al-Funun. Salah seorang penyair diwan yang
terkenal adalah Muhammad Esat Efendi yang dikenal dengan Galip Dede atau Syah
Galip. Adapun dibidang seni arsitektur Islam, pengaruh Turki sangat dominan.
Disebutkan bahwa 235 buah dari bangunan di bawah koordinator Sinan, seorang
arsitek asal Anatolia[4].
c. Bidang
Keagamaan
Dalam
tradisi masyarakat Turki, agama merupakan faktor penting dalam transformasi
sosial dan politik. Mufti sebagai pejabat urusan agama tertinggi berwenang
memberi fatwa resmi terhadap problema keagamaan yang dihadapi masyarakat. Tanpa
legitimasi Mufti, keputusan hukum karajaan bisa tidak berjalan. Kehidupan keagamaan
pada masyarakat Turki Utsmani mengalami kemajuan[5].
2.
Kemunduran
Kerajaan Utsmani
Setelah Sultan Sulaiman Al-Qauni wafat
(1566 M), kerajaan Turki Utsmani mulai memasuki fase kemunduran. Sultan
Sulaiman Al-Qauni diganti oleh Sultan Salim II (1566-1573 M). Di masa
pemerintahannya terjadi pertempuran antara armada laut Kerajaan Utsmani dengan
armada Laut Kristen. Pertempuran ini terjadi di Selat Liponto Yunani. Dalam
pertempuran ini Turki Utsmani mengalami kekalahan yang mengakibatkan Tunisia
dapat direbut oleh musuh. Baru pada masa sultan berikutnya, Sultan Murad III
pada tahun 1575 M Tunisia dapat direbut kembali.
Pada tahun 1770 M, tentara Rusia
mengalahkan armada Kerajaan Utsmani disepanjang pantai Asia Kecil. Akan tetapi,
tentara Rusia ini dapat dikalahkan kembali oleh Sultan Mustafa III (1757-1774
M) yang segera mengkonsolidasi kekuatannya. Pengganti Sultan Mustafa III adalah
Sultan Abdul Hamid (1774-1789 M) seorang Sultan yang lemah. Pada masa Sultan
Hamid mengadakan perjanjian dengan Chaterin II dari Rusia yang diberi nama
Perjanjian Kinarja di Kurcuk Kinarja. Isi perjanjian itu antara lain:
a. Kerajaan
Utsmani harus menyerahkan benteng-benteng yang berada dilaut hitam kepada Rusia
dan memberi izin kepada armada Rusia untuk melewati selat yang menghubungkan
Laut Hitam dengan Laut Putih.
b. Kerajaan
Utsmani mengakui kemerdekaan Kirman (Crimea)[6].
Demikianlah proses kemunduran yang
terjadi di Kerajaan Turki Utsmani. Akhirnya satu persatu negeri di Eropa yang
pernah dikuasi kerajaan ini memerdekakan diri. Kerajaan Utsmani akhirnya
berakhir dengan berdirinya republik Turki.
B. Kerajaan Syafawi
1.
Sejarah
Berdirinya Kerajaan Syafawi
Awalnya
kerajaan Syafawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil,
sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat Syafawiah, yang
diambil dari nama pendirinya yaitu Shafi Ad-Din[7].
Shafi
Ad-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan
hidupnya. Gurunya bernama Syaikh Tajudin Ibrahim Zahidi (1216-1301 M) yang
dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani. Shafi Ad-Din mendirikan tarekat Syafawiah
setelah ia menggantikan guru sekaligus mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M.
Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan
tasawuf Syafawiah bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi
golongan yang mereka sebut “ahli-ahli bid’ah”.
Kecenderungan
memasuki dunia politik secara konkret tampak pada masa kepemimpinan Junaid
(1447-1460 M). Dinasti Syafawi memperluas geraknya dengan menambahkan kegiatan
politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik
antara Junaid dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam). Dalam konflik itu
Junaid kalah dan diasingkan ke suatu tempat. Ditempat baru ini ia mendapat
perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, Ak. Koyunlu (domba putih).
Anak
Junaidi yaitu Haidar, ketika itu masih kecil dalam asuhan Uzun Hasan. Hubungan
Haidar dengan Uzun Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini salah seorang
putri Uzun Hasan. Dari perkawinan ini lahirlah Ismail yang kemudian hari
menjadi pendiri Kerajaan Syafawi di Persia[8].
Masa
kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan Syafawi. Secara politik ia mampu
mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara
dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan
lain pada masa raja-raja sebelumnya. Kemajuan pada Kerajaan Syafawi:
a. Bidang
Ilmu Pengetahuan
Dalam
sejarah Islam, bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban
yang tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan.
b. Bidang
Ekonomi
Keberadaan
stabilitas politik kerajaan Syafawi pada masa Abbas I ternyata lebih memacu
perkembangan perekonomian. Terlebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan
pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Dengan dikuasainya Bandar ini
maka salah satu jalur dagang antara laut Timur dan Barat yang biasa
diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi milik
kerajaan Syafawi[9].
c. Bidang
Arsitektur
Penguasa
Kerajaan Syafawi telah berhasil menciptakan Isfahan, ibu kota kerajaan menjadi
kota yang sangat indah. Di kota Isfahan ini berdiri bangunan-bangunan besar
dengan arsitektur bernilai tinggi dan indah[10].
d. Bidang
kesenian
Karajaan
Syafawi mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam bidang seni, antara lain
dalam bidang kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan,
mode, tembikar, dan benda seni lainnya.
e.
Bidang Tarekat
Sebagaimana
telah diketahuai bahwa cikal bakal Kerajaan Syafawi adalah gerakan sufistik,
yaitu gerakan tarekat. Oleh karena itu kemajuan di bidang tarekat pun sangat
maju. Bahkan gerakan tarekat ini tidak hanya berpikir dalam bidang keagamaan,
tetapi juga dalam bidang politik dan pemerintahan.
2.
Kemunduran
Kerajaan Syafawi
Sepeninggal Abbas I, Syafawi
diperintah oleh raja-raja yang lemah dan memiliki perangai dan sifat yang
buruk. Hal ini menyebabkan rakyat kurang respon dan timbul sikap masa bodoh
terhadap pemerintahan. Raja-raja yang memerintah setelah Abbas I adalah :
a. Safi Mirza
Safi Mirza
cucu Abbas I, adalah seorang pemimpin yang lemah. Ia sangat kejam terhadap
pembesar-pembesar kerajaan karena sifat pencemburunya.
b. Abbas II
Ia adalah
raja yang suka mabuk, minum-minuman keras sehingga jatuh sakit dan meninggal.
c. Sulaiman
Ia juga
seorang pemabuk dan sering bertindak kejam terhadap para pembesar yang
dicurigainya. Akibatnya, rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintah.
d. Shah Husein
Ia adalah
pemimpin yang alim. Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan bangsa
Afghan yang dipimpin oleh Mir Vays yang kemudian digantikan oleh Mir Mahmud.
Pada masa pemberontakan Mir Mahmud ini, kota Qandahar lepas dari Syafawi,
kemudian disusul kota Isfahan. Pada 12 Oktober 1722 M Shah Husein menyerah.
e. Tahmasp II
Dengan
dukungan dari suku Qazar Rusia, ia memproklamirkan diri sebagai raja yang
berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di Astarabad. Kemudian ia
bekerja sama dengan Nadhir Khan untuk memerangi bangsa Afghan yang
menduduki kota Isfahan. Isfahan berhasil direbut dan Syafawi kembali berdiri.
f. Abbas III
Ia adalah
pengganti Tahmasp II yang diangkat pada saat masih kecil. Pada 1736 M, Abbas
III dilengserkan kemudian Kerajaan syafawi diambil alih oleh Nadir Khan. Dengan
demikian, berakhirlah kekuasaan dinasti Syafawi di Persia[11].
Faktor-faktor yang menyebabkan
berakhirnya kerajaan Syafawi:
1). Konflik panjang dengan kerajaan
Turki Utsmani. Hal ini disebabkan oleh perbedaan mazhab antara kedua kerajaan.
2). Adanya dekadensi moral yang
melanda sebagian para pemimpin Syafawi.
3). Pasukan Ghulam yang dibentuk
Abbas I tidak memiliki semangat perang seperti Qilzibash yang dikarenakan
pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak melalui proses
pendidikan rohani.
4). Seringnya terjadi konflik intern
dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana[12].
C. Kerajaan Mughal
1.
Sejarah
Berdirinya Kerajaan Mughal
Kerajaan
Mughal berdiri seperempat abad sesudah berdirinya Kerajaan Syafawi. Karajaan
Mughal di India dengan Delhi sebagai ibu kota, didirikan oleh Zahiruddin Babur,
salah satu cucu dari Timur Lenk. Ayahnya bernama Umar Mirza, penguasa Ferghana.
Babur mewarisi daerah Ferghana dari orang tuanya ketika ia masih berusia 11 tahun.
Ia berambisi dan bertekad akan menakhlukkan Samarkand, ia berhasil menakhlukkan
Samarkand dengan bantuan dari Raja Syafawi. Kala itu Ibrahim Lodi, penguasa
India, dilanda krisis, sehingga stabilitas pemerintahan menjadi kacau. Alam
Khan, paman dari Ibrahim Lodi, bersama-sama Daulat Khan, Gubernur Lahore,
mengirim utusan ke Kabul, maminta bantuan Babur untuk menjatuhkan pemerintahan
Ibrahim di Delhi. Permohonan itu langsung diterimanya. Babur berhasil menguasai
Punjab dengan ibu kotanya Lahore. Pada tanggal 21 April 1526 M, terjadilah
pertempuran yang dahsyat di Panipat. Ibrahim beserta ribuan tentaranya terbunuh
dalam pertempuran itu. Babur memasuki kota Delhi sebagai pemenang dan
menegakkan pemerintahannya di sana. Dengan demikian, berdirilah Kerajaan Mughal[13].
Setelah
Kerajaan Mughal berdiri, raja-raja Hindu di seluruh India menyusun angkatan
perang yang besar untuk menyerang Babur. Namun, pasukan Hindu ini dapat
dikalahkan Babur. Pada tahun 1530 M Babur meninggal dunia dengan meninggalkan
kejayaan-kejayaan yang cemerlang. Pemerintahan selanjutnya dipegang oleh
anaknya Humayun[14].
Humayun,
dalam melaksanakan pemerintahan banyak menghadapi tantangan. Sepanjang masa
kekuasaannya, negara tidak pernah aman. Ia senantiasa berperang melawan musuh.
Humayun
digantikan oleh anaknya, Akbar yang berusia 14 tahun. Karena ia masih muda maka
urusan kerajaan diserahkan kepada Bairam Khan. Pada masa Akbar inilah Mughal
mencapai masa keemasannya. Di awal masa pemerintahannya, Akbar menghadapi
pemberontakan sisa-sisa keturunan Sher Khan Shah yang masih berkuasa di Punjab.
Pasukan pemberontak itu berusaha memasuki kota Delhi. Bairam Khan menyambut
kedatangan pasukan tersebut, sehingga terjadilah peperangan yang dahsyat, yang
disebut Panipat II pada tahun 1556 M.
Setelah Akbar dewasa, ia berusaha menyingkirkan Bairam Khan. Akbar mulai
menyusun program ekspansi, ia berhasil menguasai wilayah yang sangat luas dan
diperintah dalam suatu pemerintahan militeristik. Akbar juga menerapkan apa
yang dinamakan dengan politik sulakhul (toleransi
universal). Dalam bidang ekonomi, Kerajaan Mughal dapat mengembangkan program
pertanian, pertambangan, dan perdagangan. Dalam bidang seni dan budaya juga
berkembang. Karya seni yang menonjol adalah karya sastra gubahan penyair
istana. Karya seni yang masih dapat dinikmati sekarang dan merupakan karya seni
terbesar yang dicapai Kerajaan Mughal adalah karya-karya arsitektur yang indah
dan mengagumkan[15].
2. Kemunduran
Kerajaan Mughal
Setelah
satu setengah abad dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya, para pelanjut
Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh
sultan-sultan sebelumnya. Kekuasaan polkitiknya mulai merosot, suksesi
kepemimpinan di tingkat pusat menjadi ajang perebutan, gerakan separatis Hindu
di India tengah, Sikh di belahan utara dan Islam di bagian timur semakin lama
semakin mangancam. Para pedagang Inggris untuk pertama kalinya diizinkan oleh
Jehangir menanamkan modal di India, dengan didukung oleh kekuatan bersenjata
semakin kuat menguasai wilayah pantai[16].
Sepeninggal
Aurangzeb, tahta kerajaan dipegang oleh Muazzam, putra tertua Aurangzeb yang
sebelumnya menjadi penguasa di Kabul. Pada masa pemerintahannya, ia dihadapkan
pada perlawanan Sikh sebagai akibat dari tindakan ayahnya. Ia juga dihadapkan
pada perlawanan penduduk Lahore karena sikapnya yang terlampau memaksakan
ajaran Syi’ah kepada mereka.
Setelah
Bahadur Syah meninggal, dalam jangka waktu yang cukup lama, terjadi perebutan
kekuasaan di kalangan keluarga istana. Bahadur Syah diganti oleh anaknya, Azimus
Syah. Setelah Azimus Syah meninggal, maka digantikan oleh putranya, Jihandar
Syah yang mendapat tantangan dari Farukh Siyar, adiknya sendiri. Jihandar Syah
dapat disingkirkan oleh Farukh Siyar[17].
Farukh
Syah berkuasa dengan dukungan kelompok sayyid, tapi tewas di tangan para
pendukungnya sendiri. Sebagai gantinya, diangkat Muhammad Syah. Namun, ia dan
pendukungnya terusir oleh suku Asyfar di bawah pimpinan Nadir Syah yang
sebelumnya telah berhasil melenyapkan kekuasaan Syafawi di Persia. Muhammad
Syah tidak dapat bertahan dan mengaku tunduk kepada Nadir Syah. Konflik-konflik
yang berkepanjangan mengakibatkan pengawasan terhadap daerah lemah.
Pemerintahan daerah satu per satu melepaskan loyalitasnya dari pemerintah
pusat, bahkan cenderung memperkuat posisi pemerintahannya masing-masing.
Desintegrasi wilayah kekuasaan Mughal ini semakin diperburuk oleh sikap daerah.
Pada
tahun 1761 M, Kerajaan Mughal diserang oleh Ahmad Khan Durrani dari Afghan.
Kerajaan Mughal tidak dapat bertahan dan sejak itu Mughal berada di bawah
kakuasaan Afghan. Setelah Syah Alam meninggal, tahta kerajaan dipegang oleh
Akbar II. Pada masa pemerintahan Akbar memberi konsesi kepada EIC untuk
mengembangkan usahanya di anak benua India sebagaimana yang diinginkan Inggris,
tapi perusahaan harus menjamin kehidupan raja dan keluarga istana. Bahadur
Syah, penerus Akbar, tidak menerima isi perjanjian tersebut, sehingga terjadi
konflik antara dua kekuatan tersebut.
Saat
EIC mengalami kerugian, untuk menutupi kerugian dan sekaligus memenuhi kebutuhan
istana, EIC mengadakan pungutan yang tinggi terhadap rakyat secara ketat dan
cenderung kasar. Karena rakyat merasa ditekan, maka mereka, mereka minta kepada
Bahadur untuk menjadi lambang perlawanan itu dalam rangka mengembalikan
kekuasaan Kerajaan Mughal di India. Dengan demikian terjadilah perlawanan
rakyat India terhadap kekuatan Inggris[18].
Perlawanan
mereka dapat dipatahkan dengan mudah, karena Inggris mendapat dukungan dari
beberapa penguasa lokal Hindu dan Muslim. Inggris kemudian menjatuhkan hukuman
yang kejam terhadap para pemberontak. Bahadur Syah diusir dari istana, dengan
demikian berakhirlah sejarah kekuasaan dinasti Mughal di daerah India.
Faktor yang menyebabkan kekuasaan
dinasti Mughal mundur dan membawa kepada kehancurannya[19]:
a.
Terjadi stagnasi
dalam pembinaan kekuatan militer
b.
Kemerosotan
moral dan hidup mewah di kalangan elit
politik
c.
Pendekatan
Aurangzeb yang terlalu kasar
d.
Semua pewaris
tahta kerajaan pada paruh waktu terakhir adalah orang-orang lemah
BAB III
KESIMPULAN
Penguasa pertama Kerajaan
Usmani adalah Utsman. Dinasti Utsmani berkuasa kurang lebih selama tujuh abad,
dengan sekitar 36 sultan selama kekuasaannya. Pasukan Janissary bentukan Orkhan
yang terkenal tangguh merupakan pasukan pertama yang berhasil menaklukkan
beberapa wilayah sehingga daerah kekuasaan Utsmani semakin luas. Peradaban yang
dihasilkan meliputi bidang militer dan pemerintahan, budaya, serta keagamaan.
Kemunduran Utsmani dimulai ketika wafatnya sultan Sulaiman al-Qouni.
Kerajaan Syafawi
berasal dari sebuah gerakan tarekat Syafawiyah. Nama Syafawiyah diambil dari
nama pendirinya, Syafi al-Din. Nama Syafawi itu terus dipertahankan sampai
tarekat ini menjadi gerakan politik, bahkan hingga gerakan ini berhasil
mendirikan kerajaan. Hasil peradaban kerajaan Syafawi meliputi bidang ilmu
pengetahuan, ekonomi, arsitektur, seni, dan tarekat. Kemunduran Syafawi
berturut-turut sepeninggal Abbas I.
Kerajaan Mughal
didirikan oleh Zahirudin Babur. Dan Peradaban yang diukir oleh kerajaan Mughal
yakni pada bidang ekonomi, seni, dan ilmu pengetahuan. Kemunduran Kerajaan
Mughal disebabkan karena terjadi strategi dalam pembinaan kekuatan, kemerosotan
moral dan hidup mewah di kalangan elit politik, pendekatan Aurangzeb yang
terlampau “kasar” dalam melaksanakan ide-idenya, serta semua pewaris tahta
kerajaan adalah orang yang lemah dalam kepemimpinan.
DAFTAR PUSTAKA
Supriyadi, Dedi (2008).
Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV
Pustaka Sertia
Yatim, Badri (2010). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada
Hamka (1981). Sejarah Umat Islam Jilid III. Jakarta:
Bulan Bintang
G.S Hodgson, Marshal (1981).
The Venture of Islam volume III.
Chicago: The University of Chicago Press
[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV
Pustaka Sertia, 2008), hlm 248
[2]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2010), hlm 130
[3]
Ibid, hlm 131
[4] Dedi Supriyadi, Sejarah..., hlm 251
[6] Ibid, 163
[7] Ibid, 138
[8] Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid III, (Jakarta: Bulan Bintang Cetakan Ke-4,
1981), hlm 61
[9] Badri Yatim, Sejarah..., hlm 144
[10] Marshal G.S Hodgson, The Venture of Islam volume III, (Chicago: The University of
Chicago Press, 1981), hlm 40
[13]
Badri Yatim, Sejarah..., hlm 147
[14]
Ibid, hlm 148
[15]
Ibid, hlm 151
[16]
Ibid, hlm 159
[17]
Ibid, hlm 160
[18]
Ibid, hlm 162
[19]
Ibid, hlm 163
Tidak ada komentar:
Posting Komentar